Berbekal Hidup Dengan Membaca al-Qur’an

27 05 2011

Pengajian Riyadul Muhibbin pada hari Jum’at ini 27-05-2011 diisi oleh H. Miftahuddin Ahimy dengan judul tersebut diatas . direncanakan pengajian WNI ini akan dilaksanakan bertempatkan dikediaman bapak Herliyan ade, berikut makalah yang akan disampaikan oleh Penceramah.

Pengertian al-Qur’an

Secara etimologi “Qur’an adalah kata asal dari “qoro’a-yaqro’u-qur’an” yang mempunyai arti himpunan/kumpulan huruf-huruf dan kalimat-kalimat sehingga menjadi sebuah bacaan yang tersusun. Firman Alloh SWT :

إنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وقَرُآنَهُ, فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ

Artinya : “Sesungguhnya tanggung jawab kami untuk mengumpulkannya (al-Quran) di dadamu dan membacakannya untukmu, maka jika kami bacakan Quran itu ikutilah bacaanya”.[2]

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا

Artinya : “Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”[3]

Adapun definisi secara terminologi, banyak ulama yang menguraikannya, namun penulis bawakan salah satunya adalah : Firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW yang pembacaannya merupakan ibadah.[4]

Keistimewaan al-Qur’an

Banyak sekali keistimewaan al-Quran, hal ini diakui bukan saja oleh orang muslim, namun orang non muslim pun mengakuinya, kita tampilkan disini beberapa saja :

  1. Sumbernya dari Alloh SWT.

Sebagaimana kita kemukakan, bahwa al-Qur’an adalah Firman Alloh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW maka Makna dan Lafadznya adalah murni dari Alloh semata, hal ini sering dinyatakan Quran  pada ayat-ayatnya.  Pada permulaan surat Hud dinyatakan “Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian diperincikan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu”. Begitu pula dalam Surat as-Syu’ara “Dan sesungguhnya al-Quran itu benar-benar kitab yang diturunkan tuhan pemelihara alam semesta”[5]. Malaikat hanya Jibril sebatas membawa dan menyampaikannya kepada Nabi dan Nabi menghapalkan lalu menyampaikannya pada ummatnya.

  1. Mu’jizat.

Mu’jizat berarti sesuatu melemahkan, yaitu dengan mengumumkan tantangan untuk mendatangkan suatu hal yangsama atau dengan mendatangkan hal yang lebih kuat lagi dari yang ada. Sebagai mana tongkat Nabi Musa yang berubah menjadi ular dan menelan Semua ular-ular Tukang sihir Fir’aun.  Setiap Nabi dan Rosul diberikan mukjizat, hal itu bertujuan untuk menanamkan keyakinan dan bukti pada kaumnya akan kebenaran ajaran yang dibawanya, maka kita katakana disini al-Quran adalah mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Alloh firmankan “Dan jika kalian ragu tentang al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat saja yang semisal al-Quran dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”[6]. Tantangan yang diumumkan al-Quran terdiri dari beberapa pilihan, yaitu untuk membuat satu kitab yang sama atau 10 surat yang sama atau 1 surat yang sama atau kalimat yang sama.

  1. Terjaga keotentikannya.

Tidak seperti Taurat dan Injil yang Alloh jaga hanya pada zaman nabinya yang bersangkutan saja, al-Quran dijaga sepanjang masa dan keadaan, tidak tertambah satu ayat atau kalimat padanya. Sebagaimana firman Alloh “ Sesungguhnya Kamilah yang turunkan al-Qur’an dan Kami juga yang menjaganya”[7]

Membaca al-Quran

Sebagian kelompok mengatakan bahwa al-Qur’an bukan untuk dibaca, namun untuk dikaji dan dipraktekkan dalam kehidupan, kita katakan disini bahwa al-Qur’an untuk dipraktekkan dan dikaji maknanya, namun pembacaannya juga tidak kalah pentingnya dan mempunyai pahala serta kedudukan yang tinggi, hal ini ditandai dengan banyaknya ayat serta hadis yang menganjurkan serta menerangkan fadhilah membaca al-Quran. Hal itu terjadi baik bagi orang yang membaca dan faham apa yang dibacanya ataupun orang yang membaca tapi tidak faham bacaannya.

Di dalam sejarah manusia, belum pernah ditemukan sebuah kitab yang dibaca, dihapalkan dan ditulis baik oleh orang yang mengerti atau yang tidak mengerti kecuali al-Quran, bahkan kadang-kadang orang yang tidak mengerti Bahasa Arab bacaannya lebih bagus daripada orang yang mengerti Bahasa Arab. Ini adalah bukti kebenaran al-Qur’an.

Alloh firmankan : “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.[8]

Marilah kita perhatikan Hadis-Hadis berikut :

  1. Dari Aisyah RA bahwa Nabi SAW bersabda “Orang yang pandai membaca al-Quran itu bersama malaikat-malaikat mulia dan penuh kebaikan, dan orang yang membaca al-Quran terbata-bata serta mengalami kesulitan padanya, maka baginya dua pahala”[9].
  2. Dari Abu Umamah, dari Nabi SAW “Bacalah Al Qur’an karena di hari kiamat ia datang memberi syafaat pada orang yang membacanya”[10]
  3. Dari Ibnu Mas’ud Nabi SAW bersabda “Barang siapa yang membaca satu huruf dari al-Quran maka ia mendapatkan satu kebajikan, dan kebajikan itu dilipatgandakan menjadi 10 pahala, aku tidak katakana “Aliif Laam Miim” itu satu huruf, tetapi tiga yaitu alif satu huruf, lam satu huruf dan miim satu huruf”[11]
  4. Dari Abu Musa al-Asy’ari bahsa Nabi SAW bersabda “Orang mukmin yang membaca al-Quran itu seperti Buah Utrujjah[12], bau dan rasanya enak dan orang mukmin yang tidak membaca al-Quran itu seperti buah Kurma, tidak mempunyai keharuman namun manis rasanya, dan perumpamaan orang munafiq yang membaca al-Quran seperti bunga, Harum baunya pahit rasanya. Dan perumpamaan orang munafiq yang tidak membaca al-Quran seperti Buah Pare, Tidak mempunyai bau dan pahit rasanya”[13]
  5. Dari Abu Umamah bahwa Nabi bersabda “Tidak dibenarkan iri hati kecuali kepada dua orang; seorang lelaki yang dikaruniai Allah hapalan al-Qur’an maka ia membacanya sepanjang malam dan siang, dan seorang lelaki yang diberi Allah harta lalu ia menginfakkannya sepanjang malam dan siang”.[14]

Membaca al-Qur’an dengan Tartil dan Suara yang Bagus.

Tartil adalah membaca dengan berhati-hati dan tidak terburu-buru, memperjelas bunyi huruf dan menjaga panjang pendek harokat [15]. Nabi SAW membaca al-Quran dengan tartil, hal ini sesuai dengan Firman Alloh “Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan”[16]. Dan dari Ummu Salamah RA “Beliau menjelaskan bagaimana Nabi SAW membaca al-Quran, yaitu dengan membacanya secara diperjelas huruf demi huruf”[17].

Disunnahkan juga untuk membaca al-Quran dengan suara yang bagus dan merdu, karena keindahan al-Quran akan bertambah dengan suara yang bagus pula. Nabi bersabda “Hiasilah al-Quran dengan suara-suara kalian”[18].

Adab Membaca Al Qur’an

  1. Dalam keadaan Suci.
  2. Di tempat yang bersih, yang paling utama di Mesjid.
  3. Menghadap ke kiblat, khusuk dan tenang.
  4. Ketika membaca, mulut, pakaian dan tempat hendaknya bersih
  5. Membaca Ta ‘awwudz.
  6. Bagi orang yang sudah mengerti arti dan maksud ayat-ayat Al Quran membacanya dengan penuh perhatian dan pemikiran tentang ayat tsb dan maksudnya.
  7. Janganlah diputuskan hanya karena hendak berbicara dengan orang lain.
  8. Berdoa setelah membaca al-Quran.

[1]   Pengajian WNI Riyadul Muhibbin, Jum’at 27 Mei 2011 di kediaman Bapak Herlian, Khartoum Sudan.

[2]   Al-Qiyaamah 17.

[3]   Al-A’rof 204

[4]   Pembahasan-pembahasan Pokok Ilmu Quran, Manna’ul Qatthan hal 15.

[5]   As-Syu’ara 192.

[6]   Al-Baqoroh 23.

[7]   Al-Hijr 09.

[8]    Faathir 29-30.

[9]    Sahih Muslim no 798.

[10]  Sahih Muslim hadis ke 804.

[11]  Sunan Tirmidzi Hadis no 3912. Beliau berkomentar ini adalah hadis baik dan benar kualitasnya.

[12]  Nama Buah sejenis jeruk, manis rasanya dan harum baunya.

[13]  Sahih Bukhari hadist ke : 5247 dan Sahih Muslim hadis ke : 797.

[14]  Sahih Bukhari hadist ke : 5025 dan Sahih Muslim hadis ke : 815

[15]  Bagaimana berinteraksi dengan al-Quran?,Yusuf al-Qordhowi, hal 159.

[16] Al-Muzammil 04.

[17] Sunan Abu Dawud 1466. Sunan Tirmidzi 2924.

[18]   Musnad Imam Ahmad hadis ke 18494.





Pelantikan PCI NU Sudan

26 05 2011

Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama menggelar acara pelantikan pengurus baru PCI NU masa khidmat 2011-2012, Rabu ( 25/5 ) Pukul 20.30 waktu Sudan yang berlangsung di Kantor sekretariat PCI NU Sudan.
Pelantikan PCI NU Sudan dilantik oleh DR. Muhammad Sulaiman Muhammad Ali Mustayar PCI NU dan Sekjen Majlis ‘ala lid dakwah Sudan yang di ikuti oleh pengurus jajaran syuriyah dan pengurus tanfidziyah, dan disaksikan langsung oleh Duta Besar RI Sudan, kemudian dilanjutkan pelantikan lembaga dan lajnah PCI NU Sudan yang di Pimpin oleh Rais Syuriyah PCI NU H. Muhammad Shohib Rifai.
Hadir pada acara pelantikan PCI NU, Duta Besar RI, Staf KBRI, Kalangan elit Sudan, masyarakat Indonesia yang berada di Sudan baik dari Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia, Ketua Kekeluargaan, Mahasiswa Indonesia, Pekerja pertamina, Mahasiswa dari Negara Somalia yang memadati ruang kantor PCI NU Sudan.
Dalam sambutannya, Duta Besar RI DR. Sujatmiko, MA memberikan selamat kepada pengurus baru masa khidmat 2011-2012 semoga bisa mengemban amanah dan menjalankan progam-progam PCI NU Sudan lebih maju dan lebih baik, beliau juga menginggatkan bahwa organisasi adalah sebagai wadah bagaimana kita memimpin orang, mengatur sirkulasi keuangan,dan harus membawa PCI NU berjalan sesuai dengan misi visi Nahdlatul Ulama yang bisa membawa kemaslahatan umat islam.
Sambutan selanjutnya disampaikan oleh Rais Syuriyah PCI NU Sudan H. Muhammad Shohib Rifa’i, MA beliau mengajak kepada seluruh jajaran pengurus untuk tetap mengabdi menjalankan progam PCI NU, disamping tugas kita di Sudan adalah belajar, tanpa adannya NU pun kita wajib belajar, kalau bukan kita yang melanjutkan perjuangan Nahdlatul Ulama terus siapa lagi. Dan mengingatkan bahwa PCI NU bukan dibawah naungan Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia akan tetapi warga PCI NU adalah warga PPMI Sudan, Semoga pengurus PCI NU mampu mengemban amanah Nahdlatul Ulama dan selalu diberikan kesehatan dalam menjalankan progam-progam kegiatan PCI NU Sudan, kita doakan juga muslimat PCI NU yang semakin lama semakin berkurang anggotanya semoga tetap eksis dan bisa menjalankan progam muslimat PCI NU.
Acara di akhiri dengan doa yang dipimpin oleh Katib Syuriyah PCI NU Sudan H. Auza’i Mahfudz Asirun, BS dan dilanjutkan dengan ramah tamah.





PCI NU akan Gelar Pelantikan Pengurus Periode 2011-2012

22 05 2011

Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Sudan ( PCI NU ) akan menggelar Pelantikan Pengurus periode 2011-2012, yang akan berlangsung di Ruang Sekretariat PCI NU Sudan, Rabu ( 25/5 ) Malam.

Acara pelantikan menurut rencana akan dihadiri oleh Duta Besar RI untuk Sudan dan Eritrea DR. Sujatmiko, MA, yang sebelumnya direncanakan akan dihadiri oleh Ketua Umum PBNU Prof. DR. Said aqil Siroj, tapi Beliau barhalangan hadir dikarenakan bertepatan dengan hari akad pernikahan putrinya.” Ujar ketua panitia pelantikan Ahmad Jalaluddin Majdy

Acara pelantikan juga akan di hadiri oleh Mustasyar PCI NU dari kalangan ulama Sudan, Bapak-bapak lokal staf & home staf KBRI, Ketua kekeluargaan, serta Anggota PCI NU dan Mahasiswa yang berada di Sudan, Ujar Sekertaris Panitia Pelantikan Slamet Riyadi.

Beberapa hari sebelumnya Pengurus PCI NU yang dipimpin oleh ketua tanfidziyah H. Lian Fuad telah melakukan konsolidasi antar pengurus guna memperkuat kesatuan antar pengurus dan membahas kegiatan yang diamanatkan pada konferensi ke 10 PCI NU di Gedung Haji dan Umroh Sudan.

“ Acara Pelantikan PCI NU diadakan di kantor PCI NU guna memperkenalkan sekretariat PCI NU Sudan, karena mengingat PCI NU Sudan sudah dikenal oleh masyarakat Sudan pada khususnya, dan berharap acara pelantikan ini berjalan dengan lancar “ Ujar Rais Syuriyah PCI NU KH. Muhammad Shohib Rifa,i.





Informasi Beasiswa S1 PCI NU Khartoum Sudan

9 05 2011

Dengan puji syukur kepada Allah SWT, PCI NU Khartoum Sudan di percaya  mengirimkan kader 15 terbaiknya untuk menuntut ilmu di negeri 2 nil. berikut kami memberitahukan persyaratan untuk mendapatkan beasiswa tersebut.

Fasilitas Beasiswa

  • Beasiswa untuk 15 orang
  • Bebas biaya kuliah
  • Bebas asrama
  • Tiket pulang (bagi yang sudah menyelesaikan studi). Untuk tiket pemberangkatan menggunakan biaya sendiri.
  • Beasiswa untuk jurusan

o    Islamic studies

o    Syariah

o    Hukum (qonun)

o    Ilmu Biologi

o    Matematika

o    Sastra Arab & Pendidikan

o    Ekonomi, ilmu sosial, ilmu administrasi dan perdagangan.

  • Bagi yang lulus seleksi tapi lemah dalam bahasa arab, akan di masukkan ke program persiapan bahasa arab selama setahun.
  • Beasiswa PCI NU Khartoum Sudan untuk 3 universitas : Al Qur’anul Karim University, Omdurman University, Elnilein University.
  • Pendaftaran selambat-lambatnya tanggal 6 Juni 2011.

Persyaratan

1.     Beragama islam

2.     Mengisi formulir yang telah di sediakan dan mengirim scannya ke e-mail : nu_sudan@yahoo.com

3.     Ijazah keluaran tahun 2010 atau 2011

4.     Nilai ijazah tidak boleh dibawah 5

5.     Menyerahkan Ijazah Asli dan terjemahannya yang telah dilegalisir.

6.     Biaya administrasi :

a.     Uang pendaftaran 50 dolar

b.     menyerahkan uang sebesar 25 dolar untuk yang menyerahkan ijazah asli

c.      menyerahkan uang sebesar 75 dolar untuk yang menyerahkan ijazah scan

7.     Semua biaya administrasi tidak bisa di ambil lagi

8.     pendaftaran di buka terhitung dari sekarang dan selambat-lambatnya 6  juni 2011

9.     Bersedia menjadi anggota dan berkhidmah di PCI NU Sudan

10.            Tidak berpartai politik (PKS) selama menempuh pendidikan di Sudan

NB :

Untuk informasi lebih lanjutnya mohon menghubungi :

Kantor PCI NU Khartoum Sudan

Ma’mura block 69 Khartoum Sudan

Telp : +249155136309, +249925560324, +249903446860, +249905212292, +2499012669828

Email : nu_sudan@yahoo.com, alam_iua@yahoo.com atau kang_fuad@yahoo.co.id

Facebook : alam thea atau kang fuad





Haflatul Wada’ dan Tasyakuran Sidang Munaqosah

9 05 2011

Pada hari Minggu 08 Mei 2011, PCI NU Khartoum Sudan mengadakan Acara Perlepasan Sdri. Hj. Rovita Agustin Zulaiminah mantan Ketua Muslimat PCI NU Sudan yang akan Kembali ke tanah air Indonesia dan Tasyakuran Sdr. H. Mirwan Akhmad Taufiq A’wan PCI NU Sudan atas gelar Master yang baru diraih dengan predikat CUM LAUDE di Institut Internasional Liga Arab di Wisma PCI NU Sudan, Turut hadir dalam Acara Tersebut Bapak Muhammad Syafri perwakilan dari KBRI Sudan, Ibu-Ibu KBRI dan banyak dari Mahasiswa-Mahasiswi, Pada acara tersebut diawali dengan pembacaan Istighosah bersama atas tanda syukur kepada Allah SWT, Meminta keselamatan dalam perjalanan, diberikan ilmu yang manfaat dan mendoakan Negara Indonesia dan Sudan. Rois Syuriah PCI NU Sudan KH. Muhammad Sohib Rifa’i, MA dalam Sambutannya memberikan Ucapan terimakasih kepada Sdri Hj. Rovita yang sejak kedatanganya ke Sudan sangat memberikan warna-warni Organisasi Nahdlatul Ulama sehingga PCI NU Sudan sangat Maju dan berkembang dan berpesan supaya perjuangannya jangan hanya di sudan saja tapi dilanjutkan ketika sampai di Indonesia dan Ucapan Selamat kepada Sdr. Mirwan Semoga ilmunya berkah dan manfaat, Sambutan selanjutnya dari Perwakilan KBRI Khartoum Sudan Bapak Muhammad Syafri, KBRI sangat bangga ada warganya yang mendapatkan predikat Mumtaz serta membawa harum nama Indonesia, Harapan dan doa kami Semoga bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan kelak pulang ke tanah air bisa menyampaikan ilmunya kepada masyarakat Indonesia, acara di tutup dengan doa yang disampaikan oleh Katib Syuriyah KH. Auza’i Mahfudz.





Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi

30 03 2011

Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi

Ketua umum  PBNU prof  dr KH Said Agil Siroj, dalam kata pengantarnya beliau di buku yang berjudul Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi karangan syeikh idahram beliau  mengungkapkan bahwa kemunculan Salafi Wahabi di abad ke-18 M meskipun tidak termasuk ke dalam golongan Khawarij, tetapi antara keduanya, ada beberapa kesamaan. Kelompok Wahabi, seperti hendak mengulangi sejarah kekejaman kaum Khawarij, yang muncul jauh sebelumnya pada tahun ke-37 Hijriah, tatkala melakukan pembongkaran tempat-tempat bersejarah Islam dengan dalih memerangi kemusyrikan. Tak cukup dengan tindakan itu, mereka bahkan tak segan untuk membantai terhadap sesama umat muslim sendiri, bahkan para ulama yang tidak sejalan dengan pemikiran (sempit) mereka.

Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok–kelompok ekstrim tersebut secara langsung telah mencoreng nama Islam. Islam adalah agama yang sempurna dan tidak mengajarkan umatnya untuk berbuat kerusakan, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Dan Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 77). Apa yang dipaparkan dalam buku ini, tentang sejarah tindakan ‘merusak’ yang dilakukan oleh kelompok Salafi Wahabi ini tidak boleh kita lupakan dan mesti kita waspadai.

Lantas siapakah sebenarnya kelompok Salafi Wahabi yang dimaksud dalam buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama ini? Penulis buku, Syaikh Idahram, menjelaskan bahwa nama wahabiyah ini dinisbatkan kepada Muhammad ibnu Abdul Wahab, yang lahir pada tahun 1115 H dan wafat pada tahun 1206 H. Adapun kata Salafi, berasal dari kata as-salaf yang secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita. Adapun secara terminologis, as-salaf adalah generasi yang dimulai dari para sahabat, tabi’in dan tabi’at tabi’in. Mereka adalah generasi yang disebut Nabi Saw sebagai generasi terbaik.

Namun demikian, penggunaan istilah Salafi tersebut oleh sebagian kelompok Islam tertentu dijadikan propaganda. Mereka melakukan klaim dan mengaku sebagai satu-satunya kelompok salaf. Ironisnya, mereka kemudian menyalahkan dan bahkan mengkafirkan muslim lain yang amalannya ‘tidak sesuai’ dengan paham yang mereka anut. Mereka menganggap sesat terhadap umat muslim lain, yang dianggap melakukan perbuatan bid’ah, semisal ziarah kubur mereka tuduh sebagai perbuatan syirik.

Lebih dari itu, sederet data dan fakta penyimpangan serta rentetan sejarah pembunuhan yang terpapar dalam buku ini, menyisakan sejumlah pertanyaan, apakah tindakan mereka tidak menyalahi ajaran Islam sebagai “rahmat bagi semesta alam”?

Kita pasti akan miris, ketika membaca tulisan tentang sejumlah tindakan kelompok Wahabi yang melakukan banyak pembantaian terhadap umat Islam serta ulamanya. Seperti yang mereka lakukan tatkala menyerang kota Thaif, Uyainah, Ahsaa, bahkan Makkah dan Madinah, juga tak luput dari sasaran keganasan mereka. Sayid Ja’far Al-Barzanji dalam salah satu bukunya menuturkan, ketika Wahabi menguasai Madinah, mereka merusak rumah Nabi saw, menghancurkan kubah para sahabat, dan setelah melakukan perusakan tersebut mereka meninggalkan Kota Madinah dalam keadaan sepi selama beberapa hari tanpa azan, iqamah, dan shalat.

Apabila ditelisik lebih dalam setidaknya ada dua faktor penyebab kemunculan kelompok seperti Wahabi. Pertama, pada dasarnya kemunculan mereka bermula dari sejarah pertarungan pengaruh dan kekuasaan (politik). Muhammad bin Abdul Wahab yang terusir dari kaumnya, kembali mendapat angin segar ketika bertemu dengan penguasa Dir’iyah, Muhammad ibnu Saud. Ajaran Wahabi akan terlindungi manakala bernaung dalam kekuatan penguasa, di sisi lain kekuasaan akan semakin menancapkan kukunya tatkala mendapat legitimasi ajaran agama. Jadi perjuangan Wahabi bersama ibnu Saud, bisa dikatakan tak lebih hanya pertarungan perebutan kekuasaan yang berkedok agama.

Faktor lain yang mendasari tindakan ekstrim mereka, diantaranya juga karena pemahaman mereka yang kaku dalam memahami teks-teks agama (tekstual), sehingga cenderung terjerumud dalam memahaminya. Misalnya, mereka sangat kaku dalam memahami perintah-perintah Rasulullah saw. Paradigma ini yang kemudian menyebabkan mereka dengan mudahnya menyalahkan dan mengkafirkan umat muslim lain.

Penulisan buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama ini adalah untuk menjelaskan semua itu secara ilmiah, dengan bukti yang kuat baik secara aqli dan naqli. Buku ini menyingkap hal-hal penting dibalik wabah takfir (pengkafiran), tasyrik (pemusyrikan), tabdi’ (pembid’ahan) dan tasykik (upaya menanamkan keraguan) terhadap para ulama ahlussunnah wal jama’ah yang marak menjamur akhir-akhir ini. Semuanya disuguhkan secara sistematis namun ringan. Buku ini tidak hendak bertujuan untuk memecah belah persatuan umat Islam, tetapi lebih merupakan sebuah upaya untuk mengingatkan akan bahaya dan menyadarkan umat dari paham-paham ekstrim tersebut.

Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar, semestinya memberikan perhatian tegas dan serius dalam upaya untuk mencegah dan menghentikan pengaruh pemahaman yang dapat mengarah pada tindakan terorisme dan eksklusivisme semacam ini, yang pada akhirnya dapat mengancam persatuan umat. Dalam salah satu komentar para tokoh tentang keberadaan buku ini, ketua MUI, KH Ma’ruf Amin menegaskan, “Dengan membaca buku ini diharapkan seorang muslim meningkat kesadarannya, bertambah kasih sayangnya,lapang dada dalam menerima perbedaan dan adil dalam menyikapi permasalahan”.

Dan memang bagi para pembaca dari kalangan luar Wahabi, buku ini dapat memberikan informasi yang cukup, sehingga dapat mengetahui bahaya pengaruh serta mengetahui ciri paham ekstrim. Sedangkan bagi para simpatisan wahabi, buku ini juga dapat menjadi sumber informasi yang jelas, sehingga mereka akhirnya tahu dan sadar akan sejarah paham yang mereka anut. Semoga kita semua diberi petunjuk oleh Allah Swt  untuk senantiasa tetap menuju ke jalan yang lurus dan benar.

* Aktivis PMII Solo.





PHOTO KEGIATAN PCI NU SUDAN

30 03 2011

This slideshow requires JavaScript.





PERINGATAN HARI LAHIR NU KE 85 & SEMINAR KE NU-AN DENGAN TEMA EKSISTENSI NU DI ERA MODEREN (UPAYA MENJADIKAN NU RAHMATAN LIL ‘ALAMIN)

20 02 2011

Puji syukur kehadirat ALLAH swt yang telah memberikan keberkahan untuk NAHDHOTUL ULAMA’ dengan semangat dan penuh kebahagiaan kami pengurus cabang istemiwa nahdhotul ulama’ khartoum sudan pada hari sabtu tanggal 19 februari jam 10.00 pagi telah melaksan dan mengadakan acara hari lahirnya NU yang ke 85  di ruang serbaguna H.Agus salim KBRI khartoum sudan yang mana dalam acara ini hadir bapak duta besar RI untuk sudan serta home staff dan local staffnya,serta hadir juga tamu-tamu dari orang sudan yang mana mereka adalah juga sebagai musytasar untuk PCI NU sudan , juga pengurus untuk mahasiswa asing seikh abdullah makki dan hadir pula dari utusan  partai pengusa di sudan mu’tamar wathoni dengan susunan acara sebagai berikut:

SUSUNAN ACARA PERINGATAN HARLAH NU KE-85

AULA SERBAGUNA H. AGUS SALIM KBRI KHARTOUM

19 FEBRUARI 2011 M.

WAKTU ACARA PETUGAS
10.00 – 10.10 Pembukaan MC
10.10 – 10.15 Pembacaan Ayat Suci al-Quran furqon
10.15 – 10.20 Sambutan Ketua Panitia Harlah Ahda Arafat
10.20 – 10.25 Sambutan Ketua Tanfidziah NU Sudan Abdussalam
10.25 – 10.35 Sambutan Mustasyar NU Sudan Dr.abdullah makki
10.35 – 10.45 Sambutan Mustasyar NU Sudan Siekh muhamad sulaiman
10.45 – 10.55 Sambutan Dubes RI DR. Sujatmiko, MA
10.55 – 11.05 Pembukaan HARLAH NU DR. Sujatmiko, MA
11.05 – 11.10 Pemutaran Video Sejarah NU Petugas
11.10 – 11.25 Penampilan Sholawat Nabi JSQ Grup
11.25 – 11.30 Doa dan Penutup Muhammad Afifulloh, MA
Dialog Interaktif
11.30 -11.40 Pembicara I Muhammad Shohib Rifai, MA
11.40 – 11.50 Pembicara II H. Muhamad Afifullah, M.Ed
11.50 – 12.00 Pembicara III Edin Akhmad Syaripudin, ST
12.00 – 12.45 Tanya Jawab Seluruh Peserta
12.45 – 12.55 Kesimpulan Moderator
12.55 – 13.05 Door Prize Petugas
13.05 – 13.10 Penutup dan Ramah Tamah Seluruh Peserta




Diskusi Reguler LAKPESDAM PCI NU SUDAN Dengan tema “Imam Syatiby dan Perannya dalam Maqosid Syariah* Oleh: Muhammad Amiruddin, MA

26 01 2011

I. Ringkasan Biografi Imam Syatibi

a. Imam Syatibi dan Lingkungannya
Nama lengkap Imam Syathibi adalah Abu Ishak Ibrahim bin Musa bin Muhammad Allakhami al-Gharnathi. Beliau lebih terkenal dengan sebutan Assyatibi . Tempat dan tanggal kelahiran Imam Syatibi tidak ada dalam catatan sejarah, oleh karena itu banyak ditemukan perbedaan pendapat seputar persoalan ini, namun pendapat yang paling kuat memilih beliau dilahirkan pada sekitar tahun 730 H, dan meninggal pada tahun 790 H .
Syatibi sendiri adalah nisbat kepada sebuah daerah di sebelah timur Andalus bernama Syatibah (Sativa) yang menjadi daerah asal orang tua Imam Syatibi. Daerah ini termasuk daerah yang cukup ramai pada masa Islam, banyak ulama-ulama lain ternama lahir dari daerah ini, diantaranya adalah Abu Muhammad al Syatibi .
Pada tahun 1247 M keluarga Imam Syatibi hijrah dari Sativa ke Granada karena kota Sativa berhasil ditaklukkan oleh raja Spanyol Uraqun setelah peperangan yang berkecamuk semenjak tahun 1239 H.
Granada adalah sebuah kota kecil yang terletak di sebelah tenggara kota Biirah dan masuk dalam wilayahnya. Biirah sendiri adalah pusat propinsi yang waktu itu menjadi pangkalan militer bagi pasukan dinasti Umayyah di Andalus. Setelah dinasti Umayyah jatuh dan terjadi kerusuhan di kota tersebut, penduduknya kemudian hijrah ke Granada yang pada akhirnya menjadi pusat kota di wilayah tersebut. Di kota Granada inilah Imam Syatibi akhirnya tumbuh dan berkembang.
Pada masa Imam Syatibi hidup, Granada di bawah pemerintahan dinasti Bani Ahmar (635-897 H). Bani Ahmar adalah keturunan Sa’d bin Ubadah, salah seorang sahabat Anshar. Mereka disebut Bani Ahmar karena warna kulit mereka yang agak kemerah-merahan. Bahkan orang-orang Spanyol menyebut salah satu raja mereka dengan sebutan Barmecho, yaitu bahasa Spanyol yang berarti warna orange yang agak kemerah-merahan.
Pada masa dinasti Bani Ahmar kondisi politik di wilayah tersebut tidak begitu stabil. Konspirasi, intrik politik, perebutan kekuasaan dan pertumpahan darah menjadi warna yang dominan dalam perjalanan pemerintahan Bani Ahmar setelah ditinggalkan oleh pendiri dinasti, al Ghalib Biamrillah. Hal itu seperti yang dituturkan oleh Lisanuddin bin al Khotib, salah seorang menteri pada masa Bani Ahmar .
Kondisi politik yang buruk di tingkat atas ini membawa dampak yang negative pada kondisi sosial di masyarakat. Pembunuhan, perampokan dan perampasan sering terjadi di mana-mana. Dekadensi moral merambat dalam tubuh masyarakat. Perilaku penguasa dan masyarakat sudah banyak yang menyimpang dari jalur agama, minuman keras dan khasis (ganja) dikonsumsi oleh masyarakat secara terang-terangan, bahkan mereka tidak menganggap ganja sebagai sesuatu yang diharamkan dalam agama, seperti yang terekam dalam sebuah syair yang populer pada masa itu .
Kondisi masyarakat yang demikian memprihatinkan ini cukup wajar terjadi apabila kita melihat perilaku para penguasanya yang disibukkan dengan urusan mencari sekutu dan dukungan untuk kelompoknya masing-masing guna merebut maupun melanggengkan kekuasaan mereka, sehingga kewajiban dan tanggung jawab yang harusnya mereka emban terhadap rakyat menjadi terbengkalai, perkara-perkara yang terjadi dalam masyarakat hilang dari sorotan dan perhatian mereka, dan hukum serta aturan pun pada akhirnya tidak berjalan dengan semestinya.
Kekacauan kondisi yang terjadi dalam masyarakat waktu itu tidak berhenti di sini saja, justru makin diperparah dengan hadirnya sebagian “ulama” yang menyebarkan kesesatan dengan mengeluarkan fatwa sesuai keinginan nafsu mereka, padahal mereka seharusnya menjadi kelompok yang paling kompeten dalam menjaga kemurnian agama dan mengemban tugas amar ma’ruf dan nahi munkar di tengah-tengah masyarakat yang telah menguap unsur-unsur baik dari dalam diri mereka. Imam Syatibi menyontohkan adanya “ulama” yang memberi fatwa; hadza hasan (ini baik/boleh dikerjakan) dengan menggunakan dalil alqur’an alladzina yastami’uunal qaula fayattabi’uuna ahsanah , atau hadza birrun (ini baik) dengan berdasar pada ayat wa ta’aawanu ‘alalbirri wattaqwa , sementara jika mereka ditanya lebih jauh dan detil mengenai dasar yang tepat untuk apa yang mereka sebut dengan baik ataupun buruk, mereka bungkam dan tidak bisa berkata apa-apa .
Hal lain yang cukup memprihatinkan waktu itu adalah berkibarnya fanatisme kelompok dan madzhab di mana-mana. Madzhab Maliki menjadi madzhab yang dipeluk oleh sebagian besar masyarakat sejak zaman Hisyam al Awwal bin Abdurrahman al Dakhil yang berkuasa di Andalus pada tahun 173-180 H. Mereka fanatik sekali terhadap madzhab Maliki ini, bahkan tingkat fanatisme mereka digambarkan seperti; “mereka tidak lagi mengenal selain al-Qur’an dan al-Muwatha’ Imam Malik” . Madzhab-madzhab lain tidak diterima, orang-orang yang berbeda aliran madzhab dianggap sesat dan mendapat perlakuan yang kasar bahkan penyiksaan sehingga mengalami penderitaan yang cukup berat, seperti yang pernah dialami syaikh Baqiy bin Mukhlad* . Tentu saja hal ini bukan sesuatu yang diajarkan oleh imam Malik sendiri, karena beliau mengajarkan untuk menghargai ilmu yang dimiliki orang lain, seperti beliau menghargai imam Abu Hanifah .
Kecenderungan tersebut sangat dipengaruhi oleh perhatian mereka yang kuat terhadap persoalan-persoalan furu’ (cabang) dan melupakan hal-hal yang ushul (pokok) dalam agama. Karya-karya ulama salaf mereka curigai, sementara pendapat-pendapat ulama yang semasa mereka agungkan dan mereka bersihkan dari kemungkinan salah, bahkan keluar dari pendapat mereka sama dengan keluar dari agama .
Faktor terakhir inilah yang pada akhirnya menggerakkan Imam Syatibi untuk mengarang kitabnya yang monumental “al-Muwafaqat”, guna mempertemukan antara pandangan madzhab Hanafi dan madzhab Maliki , atau mencoba menjembatani dua aliran yang terkenal dengan sebutan aliran ra’yu (akal) dan nash (teks), juga ingin mengembalikan kesadaran masyarakat yang telah terbius dengan persoalan-persoalan cabang ke persoalan lebih fundamental dan pokok, serta mengungkap tujuan-tujuan dan hikmah yang ada dibalik syariah.
Sementara kitab “al-I’tisham” adalah jawaban beliau terhadap kegelisahan hatinya melihat penyimpangan-penyimpangan dan kemungkaran yang ada disekelilingnya.
Di samping kekacauan yang terjadi seperti di atas, tentu saja ada masa dan waktu dimana kedamaian serta perkembangan juga mendapat tempatnya. Misalnya pada tahun 750 H salah satu penguasa Bani Ahmar mendirikan madrasah pertama kali di Andalus yang dinamai dengan madrasah al Nashriyyah . Kemudian beragam ilmu pengetahuan seperti filsafat, manthiq, matematika, astronomi, kedokteran, dan lain-lain juga bisa ditemukan dalam masyarakat tersebut . Hal ini memperlihatkan adanya geliat ilmu pengetahuan pada masyarakat tersebut yang pada gilirannya juga menunjuk adanya suasana kodusif dalam masyarakat.

b. Guru-guru Imam Syatibi
Dalam sejarah, belum ditemukan catatan yang mengungkap bahwa imam Syatibi pernah mengadakan perjalanan ke luar Andalus, mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk menuntut ilmu pada mahaguru-mahaguru yang terkenal di daerah lain misalnya Madinah, Iraq, Mesir dan lain-lain seperti yang pada umumnya dilakukan oleh ulama-ulama dan para sarjana saat itu. Barangkali kita akan bertanya, faktor apa yang menyebabkan Imam Syatibi enggan meninggalkan daerahnya untuk mengembara mencari ilmu di tempat lain? Apakah karena alasan keluarga? Karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan? Ataukah karena ia sudah merasa puas dengan keilmuan ulama-ulama yang bisa ia temukan di daerahnya? Apapun jawabnya, yang jelas imam Syatibi tidak pernah berhenti belajar. Ia rajin menyerap ilmu dari ulama-ulama yang bisa ia datangi di daerahnya, ia juga sering mengadakan korespondensi dengan ulama-ulama yang berada di Tunis dan Maroko . Tentu saja ini adalah contoh konkrit bagi orang-orang yang haus ilmu namun memiliki keterbatasan-keterbatasan sehingga tidak bisa ke luar daerah untuk menuruti keinginannya menimba ilmu. Seolah-olah ia ingin mengajarkan kepada kita bahwa; “ruang tidak pernah membatasi orang untuk belajar dan mengembangkan diri”.

Diantara ulama-ulama yang menjadi guru beliau adalah:
1. Ibnu al Fakhhor al Biiri
Ia adalah guru Imam Syatibi dalam ilmu bahasa, sastra, dan qira’at. Dalam kitab Nafhu al thib, al Maqri melukiskan kedalaman ilmu bahasanya dengan la matma’a fihi lisiwahu (tidak ada tandingannya) . Ketika beliau wafat, orang-orang sangat sedih karena merasa kehilangan seorang ulama besar, termasuk imam Syatibi, bahkan ia sampai berdo’a supaya bisa dipertemukan oleh Allah SWT dengan gurunya tersebut dalam mimpinya sehingga tetap bisa mengambil faedah ilmunya . Beliau meninggal pada tahun 756 H .
2. Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Maqri
Ia dilahirkan di Tilmisan. Kemudian ia mengembara ke timur dan sempat berguru kepada Ibnu Qoyyim al Jauziyyah (w. 751 H). Setelah itu ia kembali ke Maroko dan menetap di Fez menjadi qadli di sana. Ia terkenal dengan Malikinya Maroko. Pada tahun 757 H ia diutus oleh penguasa saat itu untuk mengajar di Granada. Ia mengajar hadits dan fiqh. Ia termasuk seorang sufi, salah satu karyanya dalam bidang tasawuf al Haqoiq wa al Raqoiq membuktikan hal itu. Ia lah orang yang memberi warna tasawuf dalam diri Imam Syatibi. Hubungan Imam Syatibi dengan gurunya ini sangat dekat sekali, hingga Imam Syatibi secara khusus mendapat sanad musalsal bilmusafahah (dengan bersalaman) dan sanad talqim (dengan menyuapi) yang para perawinya adalah orang-orang sufi semuanya. Al Maqri ini menghabiskan waktu kurang lebih dua tahun di Granada, kemudian kembali lagi ke Fez, dan meninggal di sana pada tahun 759 H.
3. Abu Said bin Lubb
Ia lahir pada tahun 701 H, dan wafat pada tahun 782 H, atau delapan tahun sebelum imam Syatibi wafat. Ia ahli fiqih waqi’i (kekinian) dan juga bahasa. Ia termasuk ulama yang sangat masyhur di Granada, karena ia adalah khatib di masjid agung Granada, menjadi mufti di daerah tersebut , dan menjadi pengajar pada madasah al Nashriyyah.
4. Abu Abdillah Muhammad bin Marzuq
Ia lahir di Tilmisan pada tahun 710 H. Ia termasuk salah satu ulama yang gemar bepergian dan pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dan diantara tujuan yang membawanya sampai ke Granada adalah popularitas Ibnu al Fakhhor al Biiri dalam ilmu bahasa. Abu abdillah ini adalah seorang ulama yang ahli dalam fiqh hadits. Ia termasuk ulama yang disukai halaqohnya di Granada karena metode yang ia pakai, yaitu mengemukan nash-nash dalil kemudian menjelaskannya secara runtut. Imam Syatibi banyak belajar cara istimbath ahkam (mengeluarkan atau menghasilkan hukum) dari nash-nashnya melalui guru ini. Ia wafat pada tahun 781 H di Mesir .
Selain guru-gurunya di atas Imam Syatibi juga masih memiliki guru-guru lain dalam disiplin ilmu yang berbeda, diantaranya: Abu Ja’far Ahmad al Syakuri gurunya dalam ilmu faraidl, Abu al Hasan al Kuhaili gurunya dalam ilmu aljabar, dan lain lain . Hal ini menunjukkan bahwa Imam Syatibi adalah orang yang gemar dan rajin dalam mencari ilmu. Ia tidak hanya puas menguasai satu disiplin ilmu, namun juga berupaya menguasai ilmu apapun yang bisa ia temui dari guru-guru yang ada disekelilingnya. Inilah salah satu ciri ulama-ulama zaman dulu yang pada umumnya tidak hanya menguasai satu disiplin ilmu saja tetapi juga menguasai berbagai macam disiplin ilmu, karena semakin beragam ilmu yang dikuasai oleh seseorang maka wawasan yang ia miliki akan semakin bertambah luas dan sudut pandang yang ia miliki pun bertambah banyak. Apalagi jika dikaitkan dengan persoalan istimbath ahkam dan penerapannya dalam konteks kekinian, maka keragaman disiplin ilmu tersebut tidak bisa dielakkan.
Dan sayangnya, kecenderungan menguasai beragam disiplin ilmu seperti yang dimiliki oleh imam Syatibi ini semakin pudar dan menipis pada masa sekarang, diganti dengan kecenderungan spesialisasi.

c. Karya-karya Imam Syatibi
1. Al Muwafaqat
Kitab al Muwafaqat ini adalah karya imam Syatibi yang terbesar sekaligus terpopuler dibanding karya-karyanya yang lain. Terdiri dari empat juz. Pada awalnya kitab ini dinamakan ‘unwanu al ta’rif bi asrari al taklif, kemudian diganti dengan nama al Muwafaqat fi Ushul al Syari’ah. Kisah pergantian nama tersebut bermula ketika suatu saat imam Syatibi bertemu dengan salah satu gurunya, kemudian ia diberitahu oleh gurunya tersebut: kemarin saya bermimpi melihatmu membawa sebuah kitab karanganmu sendiri, kemudian kamu memberitahuku bahwa nama kitab tersebut adalah al Muwafaqat, lalu saya bertanya: kenapa namanya al Muwafaqat? Kemudian engkau menjawab: karena pada kitab tersebut engkau mencoba mempertemukan madzhab Hanafi dan Ibnu al Qasim . Lalu imam Syatibi berkata: mimpi guru benar adanya .
2. Al I’tisham
Kitab ini terdiri dari dua juz. Ia ditulis untuk mengingkari banyaknya penyimpangan-penyimpangan dan bid’ah yang berada disekelilingnya. Imam Syatibi wafat sebelum sempat menyelesaikan kitab ini.
3. Al Majalis
Kitab ini adalah penjelasan dari kitab al buyu’ dalam Sahih Bukhari. Kitab ini juga memuat catatan tentang apa-apa yang terjadi dalam majlis-majlis ilmu yang dihadiri oleh imam Syatibi.
4. Syarh al Khulashah
Kitab ini adalah kitab nahwu yang merupakan penjelasan dari kitab nahwu yang populer Alfiyah ibnu Malik. Terdiri dari lima jilid. Kitab ini masih berupa makhtutat (tulisan tangan asli) dan belum dicetak. Menurut Attanbakti, kitab ini merupakan syarh (penjelasan) terbaik dari kitab Alfiyah yang pernah ia temui .
5. Al Ifadat wa al Insyadat
Kitab ini seperti sebuah catatan harian, karena memuat tentang kisah perjalanan hidup imam Syatibi dan hal-hal yang pernah ia alami semasa hidup.
6. Unwan al Ittifaq fi Ilmi al Isytiqaq
Kitab ini merupakan kitab tentang ilmu sharf dan fiqh lughah. Sayang kitab ini sudah hilang saat imam Syatibi masih hidup.
7. Ushul al Nahwi
Seperti namanya, kitab ini memuat tentang kaidah-kaidah ushul dalam ilmu nahwu dan sharf. Sayang kitab ini juga hilang seperti kitab sebelumnya.

II. Imam Syatibi dan Maqashid Syariah

a. Pengertian Maqashid Syariah
Pengertian tentang maqashid syariah sebagai sebuah disiplin ilmu belum pernah dijelaskan oleh ulama-ulama dahulu. Bahkan imam Syatibi yang telah membahas panjang lebar tentang maqashid syariah pun tidak menjelaskan apa itu yang disebut dengan maqashid syariah.
Ada dua cara yang bisa digunakan untuk mengetahui makna maqashid syariah. Yang pertama dari sisi unsur bangunannya (ma’na idlafiy), yang kedua dari sisi kedudukannya yang telah menjadi sebuah disiplin ilmu (ma’na maqashid syariah ‘alaman wa laqaban) .
1. Makna Idlafiy Maqashid Syariah
Maqashid Syariah terdiri dari dua kata; maqashid dan syariah. Secara etimologi, maqashid berasal dari akar kata qasada yang artinya menuju, bermaksud, atau seimbang. Sementara syariah dalam bahasa menunjuk pada jalan yang jelas menuju sumber air, atau sumber airnya sendiri, atau agama . Dua kata ini jika digabung maka bisa menghasilkan makna maksud agama, atau hal-hal yang menjadi maksud dan tujuan dalam agama.
2. Makna Maqashid Syariah ‘Alaman atau Laqaban
Boleh jadi sebagai sebab tidak adanya ulama-ulama dulu yang menjelaskan makna maqashid syariah secara gamblang adalah karena maqashid syariah belum menjadi sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Atau ia memang tidak perlu dijelaskan karena sudah jelas maknanya bagi kalangan tertentu seperti yang diungkapkan oleh al Syatibi .
Imam al Ghazali ketika membahas tentang maqashid menyinggung; “wa maqshudu al syar’i min al khalqi khamsatun wa hiya an yahfadha lahum dinahum wa nafsahum, wa ‘aqlahum wa naslahum wa malahum”, tujuan Allah SWT dalam syariatnya bagi makhluk adalah untuk menjaga agama mereka, jiwa mereka, akal, keturunan, dan harta mereka. Apa yang disampaikan al Ghazali ini memang tidak sejelas apa yang disampaikan ulama-ulama ketika ilmu maqashid syariah sudah mulai berjalan ke arah menjadi disiplin ilmu yang independen.
Dalam kitabnya Maqashid al Syariah al Islamiyah, Ibnu ‘Asyur mengatakan: maqashid umum syariah adalah makna-makna dan hikmah-hikmah yang dicatatkan/diperlihatkan oleh Allah SWT dalam semua atau sebagian besar syariatnya, juga masuk dalam wilayah ini sifat-sifat syariah atau tujuan umumnya .
Sementara ‘Allal al Fasi mendifinisikan maqashid syariah adalah tujuan syariah dan rahasia yang diletakkan oleh Allah SWT pada setiap hukum-hukumnya . Dan al Raisuni menyatakan bahwa maqashid syariah adalah tujuan-tujuan yang diletakkan oleh syariah untuk diwujudkan demi kemaslahatan hamba .

b. Sejarah Perkembangan Maqashid Syariah
Seperti halnya tabiat perkembangan ilmu-ilmu lain yang melewati beberapa fase mulai dari pembentukan hingga mencapai kematangannya, ilmu Maqashid Syariah pun tidak lepas dari sunnah ini. Ia tidak lahir secara tiba-tiba di dunia dan menjadi sebuah ilmu seperti saat ini, tetapi ia juga melewati fase-fase seperti di atas.
Untuk lebih memudahkan dalam melihat fase perkembangan ini, maka saya akan membaginya menjadi dua fase; fase pra kodifikasi, dan fase kodifikasi.

1. Fase Pra Kodifikasi
Maqashid syariah sebenarnya sudah ada sejak nash al Qur’an diturunkan dan hadits disabdakan oleh Nabi. Karena maqashid syariah pada dasarnya tidak pernah meninggalkan nash, tapi ia selalu menyertainya. Seperti yang tercermin dalam ayat “wa ma arsalnaka illa rahmatan lil’alamin”, bahwa Allah SWT menurunkan syariatNya tidak lain adalah untuk kemaslahatan makhlukNya.
Oleh karena itu, setelah Nabi saw. wafat dan wahyu terputus, sementara persoalan hidup terus berkembang, dan masalah-masalah baru yang tidak pernah terjadi pada masa Nabi menuntut penyelesaian hukum, maka para sahabat mencoba mencari sandarannya pada ayat-ayat al Qur’an maupun hadits, dan jika mereka tidak menemukan nash yang sesuai dengan masalah tadi pada al Qur’an maupun hadits, maka mereka akan berijtihad mencari hikmah-hikmah dan alasan dibalik ayat maupun hadits yang menerangkan tentang suatu hukum, jika mereka menemukannya maka mereka akan menggunakan alasan dan hikmah tersebut untuk menghukumi persolan baru tadi.
Pada umumnya para sahabat tidak mengalami kesulitan dalam menghukumi suatu persoalan baru yang muncul, karena mereka sehari-hari telah bergaul dengan Rasulullah saw, mereka mengetahui peristiwa-peristiwa yang menjadi sebab diturunkannya sebuah ayat, mereka melihat bagaimana Nabi saw. menjalankan sesuatu atau meninggalkannya dalam situasi dan kondisi yang berlainan, mereka mengerti alasan kenapa Nabi saw. lebih mengutamakan sesuatu dari pada yang lain dan seterusnya, yang hal ini semua pada akhirnya mengkristal dan melekat dalam diri mereka hingga kemudian membentuk rasa dan mempertajam intuisi serta cara berpikir mereka seuai dengan maqashid syariah.
Diantara peristiwa-peristiwa baru yang muncul ketika masa sahabat dan tidak terjadi pada saat Nabi saw masih hidup antara lain; sebuah kisah tentang sahabat Umar ra. yang mendengar bahwa sahabat Hudzaifah telah menikah dengan seorang perempuan yahudi, kemudian sahabat Umar ra meminta sahabat Hudzaifah untuk menceraikannya. Karena sahabat Hudzaifah mengetahui bahwa pernikahan dengan ahli kitab diperbolehkan, maka iapun bertanya kepada sahabat Umar ra, a haramun hiya? (apakah perempuan itu haram bagi saya?), sahabat Umar ra. kemudian menjawab: tidak. Tapi saya kuatir ketika sahabat-sahabat lain melihat kamu menikahi perempuan yahudi tersebut mereka akan mengikutimu, karena pada umunya perempuan-perempuan yahudi lebih cantik parasnya, maka hal ini bisa menjadi fitnah bagi perempuan-perempuan muslim, serta menyebabkan munculnya free sex dan pergaulan bebas dalam masyarakat karena banyaknya perempuan muslim yang tidak laku .
Contoh lain; kesepakatan para sahabat untuk melarang Abu Bakar ra bekerja dan berdagang untuk mencari nafkah bagi keluarganya ketika ia menjabat sebagai khalifah, dan akan mencukupi kebutuhan hidupnya serta keluarganya dari uang negara, demi kemaslahatan rakyat sehingga ia tidak sibuk memikirkan urusannya sendiri dan menterlantarkan kepentingan rakyatnya .
Suatu saat Umar ra menjumpai orang yang menjual dagangannya di pasar dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga umum. Maka ia kemudian mengancam orang tersebut dengan mengatakan; terserah kamu mau memilih, apakah barang daganganmu kamu naikkan seperti harga umum di pasar ini, atau kamu pergi membawa barang daganganmu dari pasar ini . Hal ini dilakukan Umar ra karena untuk menjaga stabilitas harga dan kemaslahatan umum.
Dan masih banyak lagi contoh lain seperti pembukuan al Qur’an, pembuatan mata uang dan sebagainya, yang mencerminkan kelekatan para sahabat dengan maqashid syariah.
Begitu pula ketika masa tabi’in, mereka bergerak dan melangkah pada jalan yang telah dilalui oleh guru-gurunya yaitu para sahabat. Sehingga corak yang terlihat dalam penggunaan maqashid syariah untuk menyelesaikan masalah-masalah baru pada masa ini masih sama dengan masa sebelumnya. Misalnya tentang masalah tas’ir (penetapan harga untuk menjadi patokan umum) ketika harga kebutuhan-kebutuhan naik. Rasulullah saw. sendiri enggan menetapkan harga meskipun waktu itu harga-harga naik, dengan memberi isyarat bahwa tas’ir mengandung unsur tidak rela dan pemaksaan terhadap orang untuk menjual harganya. Namun Sa’id bin al Musayyab, Rabi’ah bin Abdul Rahman dan lain-lain mengeluarkan fatwa boleh tas’ir dengan alasan kemaslahatan umum, serta menjelaskan alasan kengganan Rasul untuk tas’ir adalah tidak adanya tuntutan yang medesak waktu itu, karena naiknya harga-harga dipicu oleh perubahan kondisi alam, yaitu kemarau panjang yang terjadi waktu itu. Sementara pada masa tabi’in kenaikan harga dipicu oleh merebaknya penimbunan barang, kerakusan para pedagang, serta melemahnya kecenderungan beragama, sehingga hal ini menuntut penetapan harga umum untuk menjaga keseimbangan dan menghindari praktek penimbunan .
Masih banyak contoh yang lain namun tidak bisa saya kutip semua . Barangkali di sini, di satu sisi kita merasa menyesal karena melihat kesadaran yang dimiliki para tabi’in dalam menggunakan maqashid syariah tidak dibarengi dengan kesadaran mereka untuk membukukan ilmu ini menjadi sebuah disiplin yang kelihatan tanda-tandanya sehingga mudah dipelajari. Oleh karena itu masih jarang ditemukan pembukuan disiplin ilmu pada masa ini termasuk yang terkait dengan maqashid syariah. Meski di sisi yang lain kita juga tidak bisa menutup mata, situasi dan kondisi waktu itu juga memiliki perannya sendiri.

2. Fase Kodifikasi
Menurut al Raisuni; barangkali orang yang paling awal menggunakan kata maqashid dalam judul karangannya adalah al Hakim al Tirmidzi (w. 320 H), yakni dalam bukunya al Shalatu wa Maqasiduha .
Tapi jika kita menelusuri karangan-karangan yang sudah memuat tentang maqashid syari’ah, maka kita akan menemukannya jauh sebelum al Tirmidzi. Karena Imam Malik (w. 179 H) dalam Muwatta’nya sudah menuliskan riwayat yang menunjuk pada kasus penggunaan maqashid pada masa sahabat. Kemudian setelah itu diikuti oleh Imam Syafi’i (w. 204H) dalam karyanya yang sangat populer al Risalah, dimana ia telah menyinggung pembahasan mengenai ta’lil ahkam (pencarian alasan pada sebuah hukum), sebagian maqashid kulliyyah seperti hifdhu al nafs dan hifdhu al mal, yang merupakan cikal bakal bagi tema-tema ilmu maqashid.
Setelah Imam Syafi’i baru muncul al Hakim al Tirmidzi, disusul Abu Bakar Muhammad al Qaffal al Kabir (w. 365H) dalam kitabnya Mahasinu al Syariah, yang mencoba membahas alasan-alasan dan hikmah hukum supaya lebih mudah dipahami dan diterima oleh manusia. Kemudian datang setelahnya al Syaikh al Shaduq (w. 381H) dengan kitabnya Ilalu al Syarai’ wa al Ahkam, yang mengumpulkan riwayat-riwayat tentang ta’lilu al ahkam dari ulama-ulama Syiah, dan al ‘Amiri (w. 381H) dalam kitabnya al I’lam bi Manaqibi al Islam, meskipun kitab ini membahas tentang perbandingan agama, namun ia menyinggung tentang Dlaruriyyat al Khams (lima hal pokok yang dijaga dalam agama, yaitu; menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) yang merupakan tema pokok dalam ilmu maqashid syariah.
Setelah itu datang Imam Haramain (w. 478H) dalam kitabnya al Burhan yang menyinggung tentang dlaruriyyat, tahsiniyat dan hajiyat, yang juga menjadi tema pokok dalam Ilmu Maqashid. Kemudian datang Imam Ghazali (w. 505H) yang membahas bebarpa metode untuk mengetahui maqashid, dan menawarkan cara untuk menjaga maqashid syariah dari dua sisi al wujud (yang mengokohkan eksistensinya) dan al ‘adam ( menjaga hal-hal yang bisa merusak maupun menggagalkannya). Kemudian imam al Razi (w. 606H), lalu imam al Amidi (w. 631H), dan ‘Izzuddin bin ‘Abd al Salam (w. 660H), kemudian al Qarafi (w. 684H), al Thufi (w. 716H), Ibnu al Taimiyyah (w. 728H), Ibnu al Qayyim al Jauziyyah (w. 751H), baru setelah itu disusul oleh imam al Syatibi .
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa dalam ilmu maqashid syariah imam Syatibi melanjutkan apa yang telah dibahas oleh ulama-ulama sebelumnya. Namun apa yang dilakukan oleh imam Syatibi bisa menarik perhatian banyak pihak karena ia mengumpulkan persoalan-persoalan yang tercecer dan dibahas sepotong-sepotong oleh orang-orang sebelumnya menjadi sebuah pembahasan tersendiri dalam kitabnya al Muwafaqat dimana ia mengkhususkan pembahasan mengenai maqashid ini satu juz (yaitu juz dua) dari empat juz isi kitabnya. Ia juga mengembangkan dan memperluas apa yang telah dibahas oleh ulama-ulama sebelumnya mengenai maqashid ini, juga menyusunnya secara urut dan sistematis seperti sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sehingga lebih mudah untuk dipelajari. Hal inilah yang menjadi kontribusi signifikan imam Syatibi dalam ilmu maqashid syariah, sehingga amal yang dilakukannya menyadarkan banyak pihak tentang pentingnya maqashid ini, serta memberi inspirasi banyak orang untuk membahas maqashid syariah ini lebih jauh, hingga Ibnu ‘Asyur (w. 1393H) pada akhirnya mepromosikan maqashid syariah ini sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri.

c. Maqashid Syariah Menurut Imam Syatibi
Dalam kitabnya al Muwafaqat imam Syatibi membagi maqashid menjadi dua. Yang pertama maqashid yang kembali pada tujuan pembuat syariah (Allah SWT), yang kedua maqashid yang kembali pada tujuan hamba (qasdu al mukallaf).
Kemudian maqashid yang kembali pada tujuan Allah SWT dibagi lagi menjadi empat bagian;

1. Maksud Allah SWT dalam Memberlakukan Syariah (qasdu al syari’ fi wad’i al syariah)
Dalam pembahasan ini imam Syatibi menjelaskan bahwa tujuan Allah SWT memberlakukan syariah adalah untuk kemaslahatan hambanya baik di dunia maupun di akhirat. Kemudian ia membagi maslahat menjadi tiga bagian; yang pertama dlaruriyah (primer), yang kedua hajiyah (sekunder), yang ketiga tahsiniyah (tersier).
Dlaruriyah adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan kemaslahatan dunia maupun akhirat, jika tidak ada maka bisa menyebabkan kehancuran dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Dlaruriyah ini, menurut penelitian, mencakup pada pemeliharaan terhadap lima hal; agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal.
Untuk menjaga hal-hal tersebut imam Syatibi menawarkan dua cara pendekatan, yang pertama dari sisi al wujud (yang mengokohkan eksistensinya atau positif) dan al ‘adam (menjaga hal-hal yang bisa merusak maupun menggagalkannya atau preventif). Sebagai contoh pemeliharaan agama dari sisi positif dengan menetapkan kewajiban ibadah misalnya shalat, puasa, zakat, dan haji, serta dari sisi preventif dengan disyariatkannya jihad.
Kemudian hajiyah adalah sesuatu yang diperlukan adanya untuk kemudahan dalam hidup. Jika tidak ada maka akan membawa kesulitan dalam hidup, namun tidak sampai pada tahap kehancuran seperti yang pertama tadi. Misalnya boleh menqashar shalat dalam perjalanan.
Sementara tahsiniyah adalah sesuatu yang sepatutnya ada karena tuntutan kesopanan dan adat istiadat. Jika tidak maka akan mencederai kesopanan dan dinilai tidak pantas. Contohnya menutup aurat dalam ibadah dan menjauhi makanan dan minuman yang najis.
Ketiga tingkatan di atas berderet secara urut, dalam artian ketika ada sebuah kasus terjadi pertentangan antara dlaruriyah dan hajiyah atau tahsiniyah maka yang diutamakan adalah yang dlaruriyah. Misalnya shalat, ketika pada satu kasus tidak bisa menutup aurat maka shalatnya tetap harus dilakukan, dan tidak boleh menggugurkan shalat gara-gara tidak bisa menutup aurat. Namun dalam keadaan normal, tingkatan-tingkatan ini saling melengkapi, yang tahsiniyah melengkapi hajiyah, kemudian melengkapi dlaruriyah. Oleh karena itu imam Syatibi kemudian menyimpulkan sebuah kaidah; dlaruriyah adalah asas bagi hajiyah dan tahsiniyah. Ketika dlaruriyah gugur maka yang lainpun ikut gugur, tapi tidak sebaliknya, namun kadang-kadang gugurnya hajiyah dan tahsiniyah secara mutlak bisa mempengaruhi kualitas dlaruriyah, karena itu hajiyah dan tahsiniyah perlu dipelihara untuk dlaruriyah.

2. Tujuan Allah SWT Menurunkan Syariat untuk Bisa dipahami (qasdu al syari’ fi wad’i al syariah lil ifham)
Ada dua hal penting yang disinggung oleh imam Syatibi dalam pokok pembahasan ini. Yaitu syariah diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, dan syariah ini bersifat ummiyyah. Oleh karena itu imam Syatibi mensyaratkan bagi orang yang ingin memahami syariah ini, maka ia harus memahaminya dari sudut padang lisan Arab, dan bukan yang lain.
Sementara yang dimaksud dengan ummiyyah imam Syatibi menjelaskan bahwa syariah ini diturunkan kepada umat yang ummi, yang tidak mengetahui ilmu-ilmu lain, ia mengibaratkannya dengan keadaan mereka sama seperti ketika dilahirkan, tidak belajar ilmu apa-apa. “wal ummi mansubun ila al umm, wa huwa al baqi ‘ala ashli wiladati al umm lam yata’allam kitaban wa la ghairahu”. Atau secara sederhana, barangkali kita bisa mengatakan mereka disebut ummi karena pengetahuan mereka tidak pernah melampaui lingkungannya. Hal ini tidak lain untuk menegaskan bahwa al Qur’an adalah mu’jizat yang turun dari Allah SWT dan bukan jiplakan atau himpunan dari ilmu-ilmu dan agama yang ada di luar Arab, seperti yang dituduhkan oleh orang-orang yang tidak mengakui Nabi saw. waktu itu.

3. Tujuan Allah SWT Menurunkan Syariat untuk dijalankan (qasdu al syari’ fi wad’i al syariah li al taklif bi muqtadlaha)
Dalam pembahasan ini imam Syatibi menyoroti dua hal; pertama taklif (pembebanan) di luar kemampuan, yang kedua taklif dengan yang mengandung unsur masyaqqah (kesulitan).
Yang pertama tidak terlalu ia jelaskan secara panjang lebar, sebab persoalan ini memang sudah jelas, setiap taklif di luar kemampuan manusia maka ia tidak sah karena tidak mungkin dilakukan oleh manusia. Kemudian ia mengurai persoalan yang timbul pada nash-nash yang nampak diluar kemampuan manusia (seperti perintah untuk mencintai atau larangan marah) dengan melihat pengantarnya maupun dampaknya. Ketika misalnya syariat melarang marah pada hakekatnya bukan melarang marahnya, sebab marah adalah tabiat yang tidak dapat dipisahkan dari diri manusia, tetapi yang dilarang adalah melakukan hal-hal yang menyebabkan kemarahan atau hal-hal yang diakibatkan oleh marah seperti dendam pertengkaran dan sebagainya.
Sementara yang kedua yaitu taklif dengan ada unsur masyaqqahnya lebih ia terangkan secara agak panjang. Ia menjelaskan bahwa Allah memberlakukan taklif yang ada unsur masyaqqahnya bukan bermaksud untuk memberikan masyaqqah pada manusia, tapi meraih maslahah yang ada dibalik taklif tersebut. Oleh karena itu ia kemudian menandaskan seseorang tidak boleh melakukan aktifitas dengan masksud mencapai masyaqqahnya, karena hal ini bertentangan dengan tujuan kemudahan bagi manusia yang ada dalam syariat.
Lebih jauh ia memaparkan, pada dasarnya setiap aktifitas mengandung unsur masyaqqah di dalamnya, seperti shalat, haji, bekerja dan lain sebagainya. Namun masyaqqah itu pada umumnya masih bisa diterima dan dipikul oleh manusia, bahkan orang-orang yang menghindari aktifitas-aktifitas tersebut dengan dalih masyaqqah di dalamnya bisa dikategorikan ke dalam kelompok orang malas.
Ia juga memperhatikan bahwa kadang-kadang perasaan adanya masyaqqah ini secara tidak sadar muncul karena didorong oleh nafsu yang menentang melakukan perintah-perintah syariat, maka di sini ia mengingatkan bahwa termasuk tujuan Allah SWT memberlakukan syariat adalah supaya manusia tidak tertawan dan dikendalikan oleh nafsunya sehingga ia bisa menjadi hamba Allah SWT dengan baik.
Apabila masyaqqah yang ada ini sudah diluar kemampuan manusia umumnya atau memberatkan, maka syariat mentolelirnya dengan adanya rukhshah (keringanan) seperti yang terjadi pada orang yang sakit ketika ia tidak mampu untuk shalat berdiri ia diperkenankan untuk duduk dan seterusnya.
Pada akhirnya ia menyimpulkan bahwa syariat yang diturunkan oleh Allah SWT ini seimbang antara terlalu berat dan terlalu ringan.

4. Tujuan Allah SWT Menurunkan Syariat untuk Semua Hambanya (qasdu al syari’ fi dukhuli al mukallaf tahta ahkam al syariah)
Dalam point pembahasan ini imam Syatibi menjelaskan bahwa syariat yang diturunkan oleh Allah SWT ini berlaku untuk semua hambanya, tidak ada pengecualian selain dengan sesuatu yang sudah digariskan oleh syariat. Kemudian ia memaparkan lebih lanjut bahwa tujuan peletakan syariah adalah untuk membebaskan seorang hamba dari belenggu hawa nafsunya, sehingga akan muncul pengakuan secara sukarela sebagai hamba Allah SWT, sebagaimana halnya ia tidak bisa melapaskan diri dari predikat hambanya. Dalam bahasanya imam Syatibi mengatakan: “al maqshad al syar’iy min wad’i al syariah ihraju al mukallaf ‘an da’iyati hawahu, hatta yakuna ‘abdan lillahi ihtiyaran kama yakunu ‘abdan lillahi idltiraran”. Oleh karena itu ia kemudian menyimpulkan setiap amal yang didasari dorongan nafsu secara mutlak tanpa melihat perintahnya atau larangan maka ia mutlak tidak sah, karena amal yang seperti itu pasti dilandasi kepentingan-kepentingan terselubung yang tidak ada kaitannya dengan syariat.
Kemudian ia juga mencoba membahas tentang sebuah amal yang mengandung dua unsur di dalamnya; tunduk pada perintah Allah SWT dan nafsu, maka amal tersebut dihukumi sesuai dengan unsur yang paling dominan antara keduanya. Namun ia tidak lupa untuk buru-buru mengingatkan bahayanya mentolelir nafsu dalam diri manusia meskipun dalam aktifitas-aktifitas yang positif, karena ia bisa menjalar tanpa disadari sehingga pada akhirnya menguasai dirinya.

Sementara itu pada maqashid yang kedua, yaitu maqashid yang kembali pada tujuan hamba (qasdu al mukallaf), imam Syatibi berbicara mengenai peran sentral motif dan niat yang menjadi dasar dari sebuah amal. Niatlah yang menjadikan amal seorang hamba sah dan diterima atau tidak, niatlah yang bisa menjadikan amal sebagai ibadah atau sekedar amal biasa, menjadikan ia wajib atau sunnah dan seterusnya. Ia lalu menyontohkan sebuah amal jika didasari motif yang berbeda konsekwensinya pun akan berbeda, misalnya sujud, ia bisa membuat orang menjadi mu’min yang takwa atau bahkan kafir, kembali pada niatnya. Oleh karena itu imam Syatibi kemudian membuat beberapa kesimpulan menyangkut hal ini;
1. Niat dan motif yang digerakkan oleh seorang hamba tidak boleh melenceng dari garis syariat.
2. Siapapun yang dalam menjalankan perintah Allah SWT punya maksud lain tidak seperti yang dimaksudkan oleh syariat, maka amalnya batal.
Di sini kemudian muncul sebuah persolan, bagaimana bagi seorang hamba yang tidak mengetahui tujuan syariah dalam setiap syariatnya? Imam Syatibi kemudian memberi tiga solusi untuk mengatasi persoalan ini;
1. Dalam melakukan amal yang diperintahkan seorang hamba harus berupaya sebisa mungkin menyesuaikan maksudnya dengan tujuan syariat, jika ia telah yakin maksudnya selaras dengan tujuan syariat, ia tetap tidak boleh menyingkirkan unsur ta’abbud (beribadah) kepada Allah SWT, sehingga ia tidak lepas dari arah menuju Allah SWT.
2. Ia hanya bermaksud patuh terhadap perintah Allah SWT, dan menjalankan syariat persis seperti yang diajarkan.

Demikian paparan singkat tentang maqashid syariah menurut imam Syatibi. Tentu saja paparan singkat ini tidak bisa menghadirkan semua yang ada dalam al Muwafaqat karya imam Syatibi, karena di sana anda akan menemukan pembahasan yang lebih luas, lebih mendalam, dan lebih menarik. Wallahu a’lamu bi al shawab.





Wisudawan universitas international Africa

20 01 2011

 

Dengan bangga pci nu khartoum Sudan telah menghasilkan wisudawan-wisudawan muda

semoga pci nu sudan tetap eksis dan selalu bermanfa’at untuk semua…….





Bukti nyata pernyata’an ketua persatuan ulama’muslim sedunia atas ke mayoritasan asy’ariah dalam aqidah yang di anut umat islam

20 01 2011

syeikh doktor yusuf alqordhowi ketua persatuan ulama’ sedunia menegaskan bahwasanya aqidah kepercaya’an mayoritas umat islam adalah aqidah yang di ajar kan oleh nabi muhammad dan para sahabat serta ulama2 setelahnya serta imam besar dalam bidang aqidah yaitu imam abul hasan alasy’ary yg di dalam nya sepakat atas syahadat kepada Allah dan nabi dan percaya pada rosul2nya,kitab2nya dan percaya pada hari akhir,serta qodho dan qodar.. Ini adalah pokok2 kepercaya’an meskipun pada cabang2nya terdapat perbeda’an tidak semestinya untk mengkafirkan satu sama lain..

berikut adalah ungkapan beliau ketika menyampaikan ceramah di univ al-azhar cairo

 

وردا على سؤال آخر من أحد
الحضور جاء فيه: “بعض
الناس يطعن في عقيدة
الأزهر الشريف، فما رد
فضيلتكم على هذا
الكلام؟”، قال الشيخ
القرضاوي بنبرة
استفهام ساخرة: “عقيدة
الأزهر الشريف؟”!
ورأى أن من يقول ذلك
“فهو يطعن في
الأشعرية”، وتابع: “ليس
الأزهر وحده أشعريا.. الأمة
الإسلامية أشعرية..
الأزهر أشعري والزيتونة
أشعري والديوباندي
)بالهند( أشعري وندوة
العلماء أشعرية ومدارس
باكستان أشعرية.. وكل
العالم الإسلامي
أشعرية”.
وأشار إلى أنه حتى
الأشعرية موجودة
بالسعودية التي تعد
مركز السلفية الوهابية،
وقال: “السلفيون مجموعة
صغيرة، حتى إذا قلنا
السعودية فليس كل
السعودية سلفيين،
فالحجازيون غير
النجديين غير المنطقة
الشرقية غير منطقة
جيزان وهكذا”.
وأضاف: “فإذا أخذنا
بالأغلبية، فإن أغلبية
الأمة أشعرية.. هذه كلها
اجتهادات في فروع العقيدة،
والكل متفق على شهادة
أن لا اله إلا الله وأن محمد
رسول الله وعلى النبوة
في الإيمان بالله وكتبه
ورسله وفي اليوم
الآخر”.
وشدد على أن “هذه
الاختلافات لا ينبغي أن
نكفر بها أحدا”.





Salafi antara niat persatukan umat islam dan realita pecahkan umat islam

20 01 2011

Salafi antara niat persatukan umat islam dan realita pecahkan umat islam

1.Salafi turotsy
2.Salafi yamani
3.Salafi wahdah islamiyah(salafi hizbi)
4.Salafi sururi
5.Salafi haroki
6.Salafi ghuroba’
7.Salafi MTA
8.Salafi persis
9.Salafi ikhwani
10.Salafi hadadi
11.Salafi turoby

mana yang anda suka dari sekian salafi…?

Semuanya saling menyesatkan dan saling memvonis bid’ah pada aktifitas masing2 salafi…

Mereka yang selama ini meneriak2kan persatuan umat justru menjadi dalang perpecahan umat…

Coba pikir diantara para salafi saja seperti demikian

bagaimana sikap mereka pada Nu , muhamadiyah, hti, atau ormas2 islam yang lain

kami harap walaupun teguh pada ajaran alqur’an dan sunnah tapi harus tetap di ingat etika harus di kedepankan..
Dg tidak mengedepan vonis2 yg seharusnya di lontarkan pada sesama muslim….





18 09 2010
P e n g u r u s

C a b a n g

N a h d l a t u l U l a m a
Khartoum Sudan

Mengucapkan

Selamat Hari Raya

Idul Fitri 1431.H





Al Quran and islamic sciences University

6 08 2010

Al Quran and islamic sciences University

Univeritas ini  didirikan sesuai dengan surat keputusan pemerintahan revolusi nasional pada tahun 1990 M dan resmi menjadi univesitas sejak tanggal 21/11/1410 H bertepatan dengan tangal 14/6/1990M . universitas ini adalah hasil merger dari kulliyat alqur’anul karim yang didirikan pada tahun 1401H/1981Mdan Ma’had omdurman al Ilmy yang didirikan pada tahun 1403H/1983yang membawahi tiga fakultas yaitu Fak. Syari’ah , Fak.Bahasa Arab dan Fakultas khusus untuk putri setelah penggabungan ini terjadi pengembangan dan penambahan fakultas dan jurusan jurusannya beserta lembaga lembaga khusus yang diadakan untuk kepentingan pengembangan universitas  
Universitas ini terletak di kota omdurman yang berdekatan dengan sungai nil sehinnga kampus ini memiliki pemandangan yang indah

Fakultas-fakultas dan lembaga lembaga
Universitas sampai Saat ini  terdiri dari enam fakultas , dan lembaga putri ( markaz litthalibaat ), perpuistakaan pusat,dan empat ma’had serta dua lembaga ilmiyah , adapun fakultas tersebut :

1. Kulliyyat alQur’anul kariim  (Fakultas Ilmu-ilmu Al Qur’anl), dengan jurusan-jurusan:
a. Qiro’ah
b. Studi Islam.
c. Sejarahs.
2. Kulliyyat al-Syari’ah (Fakultas Syari’ah), dengan jurusan-jurusan:
a. Syari’ah dan hukum
b. Fiqh dan ushul fiqh

3. Kulliat al-Iqtishod wal ‘ulumul idaariyyah ( Fakultas ekonomidan ilmu menejemen) dengan jurusan jurusan :
a.Ekonomi
b.Menejemen
c.Akuntansi

4. Kulliyyat al-Lughah Al ‘araobiyah (Fakultas Bahasa Arab) dengan jurusan jurusan
a.Sastra dan kritik sastra
b.Nahwu dan shorof

5.Kulliyyat ad-da’wah wal I’laam (Fakultas dakwah dan penyiaran), dengan jurusan-jurusan:
a.Pers dan jurnalistik
b.Penyiaran dan televisi
c.Publik relation dan iklan
d.Da’wah dan hubungan masyarakat
6.kulliyat at-tarbiyah ( Fakultas pendidikan ) dengan jurusan-jurusan:
a.Bahasa Arab
b.Bahasa asing
c.Ilmu pendidikan dan sosial
d.Sains dan matematika

5.  Fakultas Pasca Sarjana
Fakultas Pasca Sarjana ini didirikan tahun 1991 dan menawarkan program Diploma, Magister dan Doktoral pada jurusan-jurusan berikut:
a.Ilmu ilmu Syaria’ah ,meliputi :
-Ilmu Al qur’an dan sunnah dengan dua spesialisasi
-Tafsir dan ulumul Qur’an
-Hadits dan ilmu hadits
b. Ilmu fiqh perbandingan
c. Ilmu Fiqh dan usul fiqh dengan dua spesialisasi :
-Hukum Islam
-Usul fiqh
d. Aqidah
e. Ilmu qiroah
f. Bahasa arab,dengan spesialisasi :
-Nahwu dan shorof
-Sastar dan kritik sastra dengan tiga spesialisasi:
-Sastra Arab
-Balaghoh
-Linguistik
g. Da’wah .
h. Penyiaran dengan tga bidang spesialisasi :
-penyiaran dan televisi
-jurnalistik
-publik relation  
i. Menejmen
j. Ilmu ekonomi
k. Ilmu pendidikan dengan lima bidang spesialisasi:
-Ushulut tarbiah
-kurikulum dan metode pengajaran
-menejemen pendidikan
-filsafat pendidikan
-ilmu jiwa pendidikan ( ‘ilmu an- nafs at tarbawiy)
l. diploma pasca sarjana ,dengan empat spesialisasi :
-da’wah dan tsaqofah islamiyah
-Pengelolaan zakat dan waqaf
-Pengelolaaan perbangkan dan lembaga keuangan
-Menejemen umum

Penerimaan
Syarat-syarat penerimaan:
1.Memenuhi syarat penerimaan umum.
2.Lulus dalam interview.
3.Khusus untuk fak. Al Qur’an disyaratkan telah hafal 10 juz dan untuk fak. Lain disyaratkan 3 juz terakhir dari Al qur’an
4.penerimaan mahasiswa asing bisa melalui beberapa cara :
– Pemberian beasiswa dari fihak kementrian  pendidikan tinggi melalui kedutaan sudan di negara masing masing
– Calon mahasiswa tersebut disponsori oleh lembaga lembaga resmi seperti nadwah ‘alamiyah lissyabaab(WAMY) atau yang lainnya
– Dengan biaya sendiri
pengajuan pendaftaran untuk s1 melalui kantor pusat dep. Pendidikan tinngi sudan

Syarat penerimaan untuk pasca sarjana
1.memiliki ijazah s1 dari universitas al- Qur’an atau universitas lain yang diakui dengan predikat minimal “ baik ”
2.Untuk yang memiliki ijazah dibawah predikat baik dimugkinkan  untuk diterima dengan syarat memiliki ijazah diploma pasca sarjana atau memiliki pengalaman kerja di bidangnya selama 10 tahun atau memiliki karya ilmiyah yang signifikan.
Untuk bisa lanjut ke tahapan penulisan tesis  apabila memenuhi salah satu persyaratan berikut :
-Telah lulus dari materi kuliah pra penulisan tesis ( tamhidi )
-Memiliki ijazah diploma pasca sarjana dengan predikat  minimal “baik”
-Memiliki  pengalamman kerja dibidang spesialasasi s1nya, serta memiliki karya ilmiah yang diakui pihak niversitas  -Untu program s3 persyaratannya adalah :
1. Memiliki ijazah s2 dari univ. Al- Qur’an atau yang lainnya yang diakui dengan predikat minimal “baik”
2. Lulus dalam interview
3. Menaati ketentuan yang ditetapkan oleh universitas.

Nb.
•Untuk program s1  bagi hafiz qur’an dimungkinkan tuk mendapatkan beasisiswa apabila lulus dalam test
•Universitas ini juga menyediakan beasiswa untuk program s3 bagi mahasiswa asing termasuk  mahasiswa indonesia dan permohonan pengajuan beasiswa ini bisa melalui rekomendasi dari KBRI khartoum sudan kemudian diajukan ke kementrian pendidikan tinggi sudan
•Khusus mahasiswi yang mendapatkan  beasiswa disediakan asrama.    
•Banyak mahhasiswa Indonesia yang belajar di  uuniversitas  ini dari  s1 s3
•Beasiswa  yang dimaksudkan adalah bebas darii  bbiaya pendidikan

Alamat:
Website: http://www.quran-unv.edu.sd





Omdurman Islamic University

6 08 2010

Omdurman Islamic University

Omdurman Islamic University atau yang biasa di singkat (OIU) adalah universitas di sudan yang terletak pada kota omudurman  didirikan pada Rabiul Awal 1332 H (1912) dengan nama al-Ma‘had al-‘Ilmiy (Lembaga Ilmu Pengetahuan). Nama itu kemudian berubah pada 1385 H (1965) menjadi UIO.
UIO pada awal mulanya hanya memiliki fakultas-fakultas keagamaan. Kemudian pada dekade ‘60-an terjadi perkembangan cukup berarti dan hingga 1990 telah memiliki 12 fakultas di samping pusat-pusat dan unit-unit penelitian.

Fakultas-fakultas:
Fakultas-fakultas yang terdapat di dalam UIO adalah:
1. Kulliyyat Ushûl al-Dîn (Fakultas Ushuluddin) dengan jurusan-jurusan:
a. Al-Qur’an al-Karim.
b. Ilmu-ilmu al-Qur’an.
c. Tafsir.
d. Hadits.
e. Ilmu-ilmu Hadits.
f. Aqidah.
g. Kebudayaan Islam.
h. Sirah.

2. Kulliyat al-Syarî‘ah wa al-Qânûn (Fakultas Syariah dan Hukum) dengan jurusan-jurusan:
a. Ushul Fiqh.
b. Fiqh Perbandingan.
c. Siyâsah Syar’iyyah (Politik Islam).
d. Fiqh Madzhab.
e. Hukum Islam.
f. Fiqh Maliki.
g. Fiqh Jinai.
h. Fiqh al-Usrah.(ahwal  sakhsiah)
i. Hukum.

3. Kulliyyat al-Da‘wah wal al-I‘lâm (Fakultas Da’wah dan Informatika) dengan jurusan-jurusan:
a. Da’wah dan Ihtisâb.
b. Perbandingan Agama dan Aliran Pemikiran Modern.
c. Pers dan komunikasi Masyarakat.
d. Radio dan Televisi.

4. Kulliyyat al-‘Ulûm al-Ijtimâ‘iyyah (Fakultas Ilmu-ilmu Sosial), dengan jurusan-jurusan:
a. Sejarah dan Kebudayaan Islam.
b. Sejarah Politik dan Kebudayaan.
c. Geografi.
d. Dokumentasi dan Informasi.
e. Perpustakaan.
f. Bahasa dan Sastra Inggris.
g. Bahasa dan Sastra Perancis.
h. Bahasa-bahasa Afrika dan Timur.

5. Kuliyyat al-Iqtishâd wa ‘Ilm al-Ijtimâ‘ (Fakultas Ekonomi dan Sosialogi) dengan jurusan-jurusan:
a. Ekonomi.
b. Ilmu Politik.
c. Ilmu Administrasi.
d. Akuntansi.
e. Sosiologi.
f. Psikologi.

6. Kulliyyat al-Thibb (Fakultas Kedokteran) dengan jurusan-jurusan:
a. Kedokteran Umum.
b. Bedah.
c. Kesehatan Masyarakat.
d. Kebidanan.
e. Kesehatan Anak.
f. Otopsi.
g. Anatomi Tubuh.

7. Kulliyyat al-Taqânah (Fakultas Teknik) dengan jurusan-jurusan:
a. Teknik Sipil.
b. Teknik mesin.
c. Teknik Elektro dan Komputer.
d. Teknik Bangunan dan Arsitek.

8. Kulliyyat al-‘Ulûm (Fakultas Sains) dengan jurusan-jurusan:
a. Statistik dan Komputer.
b. Kimia Organik.
c. Teknologi Pangan.
d. Biologi Molekuler.
e. Otopsi.
f. Anatomi Tubuh.
g. Ekologi.
h. Matematika.
i. Kimia.
j. Fisika.

9. Kulliyyat al-Tarbiyah (Fakultas Ilmu Pendidikan) dengan jurusan-jurusan:
a. Dasar-dasar Pendidikan.
b. Psikologi Pendidikan.
c. Kurikulum dan Metode Pengajaran.

10.Kulliyyat al-Lughah al-‘Arabiyyah (Fakultas Bahasa Arab) dengan jurusan-jurusan:
a. Linguistik.
b. Kritik Sastra.
c. Pengajaran Bahasa Arab untuk Non Arab.

11. Kulliyyat al-Zirâ‘ah (Fakultas Pertanian) dengan jurusan-jurusan:
a. Budidaya Pertanian.
b. Agroindustri.

12. Kulliyyat al-Shaydalah (Fakultas Farmasi) dengan jurusan-jurusan:
a. Apoteker.
b. Farmacologi.

Program Pasca Sarjana
Prorgram ini bertujuan menyiapkan tenaga ahli di bidangnya dengan memberikan gelar Master dan Doktor. Bagi mahasiswa yang telah memiliki ijazah S1  dapat melanjutkan ke program Diploma pasca sarjana selama dua tahun, sebelum menulis tesis Magister.

Registerasi/Pendaftaran
•Sidang Senat Fakultas dan pengesahan Dewan Pengajar menentukan waktu pendaftaran.
•Seorang mahasiswa tidak dibenarkan mengambil lebih dari satu jurusan pada waktu yang bersamaan.
•Bagi dosen pembantu tidak dibenarkan mendaftarkan dirinya pada bukan jurusannya, kecuali setelah mendapat persetujuan Dewan Pengajar atas rekomendasi Senat Fakultas.

Ujian
Ujian Diploma dan Magister diadakan dua kali dalam satu tahun pada waktu-waktu yang ditentukan.

Syarat Penerimaan bagi mahhasiswa asing
1. Memenuhi persyaratan akademis (memiliki ijazah, dll).
2. Sehat jasmani dengan dibuktikan Surat Keterangan Dokter yang resmi.
3. Berkelakuan Baik dengan dibuktikan dengan surat keterangan dari pihak yang berwenang untuk itu.

Alamat:
Omdurman Islamic University, PO Box 382, Omdurman, Sudan. Faks: 775253, Telex: SD.OIUFM 22527.

Lama study
Program s1 dapat ditempuh dalam tempo 4 tahun dan program magister dapat ditempuh dalam waktu 2 tahun dan doktoral dapat ditempuh dalam waktu 3 tahun

Status akreditasi
Universitas ini adalah universitas yang sudah dikenal dan diakui oleh negara negara arab ataupun islam termasuk indonesia  

Biaya studi
Untuk strata s1
Untuk s2 dibedakan antara mahasiswa Sudan dan luar sudan
-untuk sudan biayanya sebesar : 1200 dolar amerika
-untuk non sudan biayanya sebesar : 3000 dolar amerika
untuk s3
-untuk mahasiswa sudan biayanya sebesar : 1700 dolar
-untuk mahasiswa asing biayanya sebesar  : 6000 dolar
Namun biaya kuliah tuk orang asing dimungkinkan untuk disamakan dengan mahasiswa sudan ( rusum sudaniyah ) dengan mengajukan permohonan ke pihak rektorat dengan surat pengantar dari kedutaan dan persatuan pelajar Indonesia sudan

Peluang beasiswa
Universitas ini menyediakan beasiswa untuk program s3 bagi mahasiswa asing termasuk Mahasiswa indonesia dan permohonan pengajuan beasiswa ini bisa melalui rekomendasi dari KBRI khartoum sudan kemudian diajukan ke kementrian pendidikan tinggi sudan
Sedangkana beasiswa  untuk  s1 bisa mengurusnya klewat Wafidin (lembaga pemerintah untuk urusan mahasswa asing)

Nb:-disediakan asrama  bagi s1 dengan bbiaya terjangkau
-memiliki  cabbang  diberbagai Negara diantaranya suria
-banyak mahasiswa Indonesia yang sdah berhasil menyelesaikan s2 ddari universitas ini,serta banyak lagi program s3.
-Spesialiisai perbankan islam  dadn ekonomi  islam ddi  bawah faklltas syariah dan hukum